DARS 5


Dars 5 : Pengantar Kalimat Inti Bahasa Arab

الْحَمْدُ لِلَّه, الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِلَّه, عَمَّ بَعْدُ

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini Insya Allah Ta'ala kita akan membahas tentang  kalimat dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal ada istilah kata dan kalimat.


Dalam bahasa Arab, kata ini ada tiga kelompok; fi’il,isim dan huruf. Ini agak berbeda dengan bahasa Indonesia dimana bahasa Indonesia tidak dikelompokkan menjadi tiga tapi hanya dua saja. Ada kata kerja dan kata benda, dimana kata benda ini terdiri dari banyak kelompok kata seperti kata sambung, kata hubung, kata tanya, dan kata-kata yang lainnya.


Dalam bahasa Arab kata ini dibagi fi’il, isim dan huruf. Ini ditinjau dari “kata” dalam bahasa Indonesia atau “kalimah” dalam bahasa Arab.  Jadi bahasa Arabnya “kata” adalah kalimah, kalimatun. Jangan terkecoh dengan istilah ini karena dalam bahasa kita “kalimat” adalah susunan dari beberapa kata yang memiliki makna. Adapun dalam bahasa Arab kalimatun/kalimah adalah “kata”. Adapun kalimat di dalam bahasa Arab disebut dengan kalaam/kalaamun/jumlah/jumlatun.


Saya ulangi. Bahasa Arabnya “kata” adalah kalimah/kalimatun, adapun bahasa Arabnya “kalimat” adalah jumlah/kalam. “Kalimat” adalah susunan dari beberapa kata yang memiliki makna. Di dalam bahasa Arab, “kalimat” itu ada dua; ada yg disebut dengan jumlah ismiyyah ada yg disebut jumlah fi'liyyah.

Apa itu jumlah ismiyyah dan apa itu jumlah fi'liyah?
Jumlah Ismiyyah adalah kalimat yang disusun dari isim dan isim atau isim dan fi’il. Jadi acuannya adalah isimnya. Bila satu kalimat didahului oleh isim maka kalimat tersebut disebut dengan jumlah ismiyyah.

Contohnya apa, misalkan kalimat yang tersusun dari isim dan isim kita ambil salah satu jenis isim, misalkan isim isyaroh (kata tunjuk) هَذَ, هَذِهِ, ذَلِكَ, تِلْكَ. Misalkan kita ingin menunjuk pulpen maka kita katakan:
هَذَ قَلَمٌ
Karena kalimat ini tersusun dari dua kata yaitu isim isyaroh dan nama benda maka هَذَ قَلَمٌ merupakan jumlah ismiyyah.


Contoh lain jumlah ismiyyah, misalkan kita ambil isim dhomir, misalkan ana, kita ingin mengatakan saya adalah seorang insinyur. Maka kita katakan:
أَنَا مُهَنْدِسٌ
Karena kalimat ini diawali oleh isim yaitu isim dhomir (ana), maka kalimat أَنَا مُهَنْدِسٌ merupakan kalimat jumlah ismiyyah.


Misalkan lagi kita ambil contoh jumlah ismiyyah dari isim 'alam atau nama (baik nama orang atau nama tempat). Kita ambil contoh nama orang, misalkan Zaid, kita ingin mengatakan bahwa Zaid ini adalah seorang dokter. Bahasa Arabnya dokter adalah طَبِيْبٌ . Maka kita katakan:
زَيْدٌ طَبِيْبٌ : Zaid adalah seorang dokter

Ini contoh jumlah ismiyyah. Kemudian jumlah ismiyyah bisa juga dari isim dan fi’il. Jadi isimnya didahulukan daripada fi’ilnya contohnya:
زَيْدٌ جَلَسَ: Zaid telah duduk.

Akan tetapi harus digaris bawahi hukum asalnya kalimat bahasa Arab fi’il didahulukan daripada isim. Jadi yang lebih sesuai dengan kaidah awal adalah زَيْدٌ جَلَسَ ketimbang زَيْدٌ جَلَسَ , karena ini sesuai dengan kaidah. Adapun pada kondisi tertentu kita boleh mendahulukan isim daripada fi’il, biasanya tujuannya untuk penekanan, artinya kalau ingin yang ditekankan pelakunya atau boleh kita menyebut pelakunya dulu dari pada fi’ilnya atau perbuatannya. Baik, ini contoh jumlah ismiyyah yang tersusun dari isim dan fi’il.
Kemudian yang kedua contoh jumlah fi'liyyah yaitu kalimat yang diawali dengan fi’il maka ini ada dua. Karena  fi’il sendiri ada yg butuh objek (fi’il muta'addy). Ada fi’il yang tidak butuh objek, atau disebut fi’il lazim. Bila kita membentuk kalimat dengan fi’il yang lazim maka kita tidak perlu mencari objeknya. Cukup sebut pelakunya. Karena fi’il lazim tidak membutuhkan objek.

Adapun bila kita ingin membuat kalimat dengan fi’il muta'addy maka kita butuh objeknya. Karena fi’il muta'addy butuh kepada objek. Diantara contoh jumlah fi'liyyah misalkan kita ingin mengatakan "Zaid telah pergi" maka kaidahnya perbuatannya lebih didahulukan dari pada pelakunya.

Jadi kalau dalam bahasa Indonesia "Zaid telah pergi" maka kita katakan Zaid dulu, urutannya:
SP --> subjek-predikat atau (ditambah) objek kalau fi’il muta'addy.
Ini kalau bahasa Indonesia "Zaid telah pergi". Adapun bahasa Arab rumusnya bukan SP tapi PS; predikat dulu baru subjek, fi’il dulu baru pelaku. Jadi kalau misalkan kita ingin mengatakan "Zaid telah pergi" maka kita cari dulu bahasa Arab telah pergi. Apa...ذَهَبَ . Jadi kita katakan:
ذَهَبَ زَيْدٌ: Zaid telah pergi
Jadi kata ذَهَبَ (fi’il) disini lebih didahulukan dari pada pelakunya, yaitu Zaid. Maka kita katakan ذَهَبَ زَيْدٌ .


Lalu apakah boleh kita mengatakan ذَهَبَ زَيْدٌ sebagaimana yang saya jelaskan di contoh jumlah ismiyyah tadi? Jawabannya Boleh.


Ada kondisi tertentu bila kita ingin menekankan pelakunya dibandingkan perbuatannya maka boleh terkadang kita mendahulukan pelaku dari pada perbuatannya. Akan tetapi hukum asalnya, dalam kondisi yang normal, fi’ilnya lebih didahulukan daripada pelakunya. Pelaku sendiri nanti kalau kita belajar lebih lanjut dalam Bahasa Arab disebut dengan fa’il.


Fa’il secara bahasa artinya adalah orang yang melakukan. Jadi pelaku di dalam bahasa Arab disebut dengan fa'il. Jadi urutannya adalah fi’il setelah itu baru fa’il.


Kemudian contoh lain misalkan kita ingin mengucapkan Fathimah, Fathimah telah pergi maka kita katakan:
ذَهَبَتْ فَاطِمَةُ  bukan  فَاطِمَةُ ذَهَبَ
Kenapa tidak  فَاطِمَةُ ذَهَبَ ? Karena فَاطِمَةُ merupakan muannats maka kita pun harus menggunakan fi’il yang muannats.

Sebagaimana yang telah kita pelajari di Ilmu Shorof, Maka fi’il yang kita ambil adalah ذَهَبَتْ.  ذَهَبَ-ذَهَبَا-ذَهَبُوا-ذَهَبَتْ
karena Fathimah dhomirnya adalah هِيَ maka kita katakan ذَهَبَتْ فَاطِمَةُ . Ini contoh kedua dari jumlah fi'liyyah.


Kemudian kalau ada pertanyaan kenapa فَاطِمَةُ tidak dibaca فَاطِمَةٌ seperti زَيْدٌ, maka kita bisa kembali merujuk ke pelajaran sebelumnya dimana semua nama wanita ghairu munshorif, artinya tidak boleh bertanwin. Ini contoh jumlah fi'liyyah dan ini fi’ilnya lazim.


Sekarang kita ambil contoh yang fi’ilnya  muta'addy. Misalkan kita ingin mengatakan bahwa Zaid telah memakan nasi maka kita sebut dulu perbuatannya. Makan itu bahasa Arabnya adalah أَكَلَ. Maka kita katakan:
أَكَلَ زَيْدٌ:  Zaid telah makan
Misalkan yang dimakan adalah nasi, maka kita katakan:

أَكَلَ زَيْدٌ رُزًّا
Karena bahasa Arabnya nasi adalah رُزٌ.

Kita perhatikan bahwa urutannya adalah fi’il (perbuatan) kemudian fa’il (pelaku) dan terakhir baru objek (maf'ul bih). Jika urutannya kalau kita ingin membuat fi’il muta'addy dengan jumlah fi'liyyah maka urutannya adalah fi’ilnya dulu atau kata kerjanya dulu kemudian fa’ilnya atau pelakunya, yang ketiga baru maf'ul bihnya (objek)


Baik kita ambil contoh kedua. Misalkan yang makan adalah Fathimah {red::: pada audio disebutkan Aisyah berlainan dengan contohnya}. Fathimah telah makan ikan maka fi’ilnya dulu (أَكَلَ) karena ia muannats maka kita gunakan(أَكَلَ-أَكَلَا-أَكَلُوْا-أَكَلَت) أَكَلَتْ   maka:
أَكَلَتْ فَاطِمَة : fathimah telah memakan.
Misalkan makannya adalah ikan. Ikan Bahasa Arabnya adalah سَمَكٌ . Maka kita katakan:
أَكَلَتْ فَاطِمَةُ السَّمَكَ atau  أَكَلَتْ فَاطِمَةُ سَمَكًا
Jadi urutannya:
أَكَلَت --> fi’il madhi dhomir هِيَ ,kemudian فَاطِمَةُ sebagai fa’il/pelaku dan السَّمَكَ / سَمَكًا sebagai maf'ul bih/objek.


Lalu dari tadi contoh-contoh yang saya sebutkan ada yang dhommah ada yang fathah. Apakah kita bisa memberi harakat ini secara asal-asalan? Jawabannya tidak, karena ada kaidah. Kaidah yang mengatur tentang kedudukan-kedudukan kata ini.  insya Allah pada pelajaran yang selanjutnya kita akan mempelajari bagaimana kaidah yang berlaku pada jumlah ismiyyah yakni isim yang pertama harus bagaimana kemudian isim yang kedua harus bagaimana. Isim pertama disebut apa kemudian isim kedua disebut apa.
Nanti kita pelajari bahwa isim pertama disebut dengan mubtada kemudian isim kedua disebut dengan khobar.


Jadi jumlah ismiyyah nanti akan kita bahas sebagai jumlah yang tersusun dari mubtada dan khobar.


Insya Allah pada pekan selanjutnya kita akan membahas mubtada harus seperti apa. Kemudian khobar harus seperti apa. Begitu pun dengan jumlah fi'liyyah. Kalau tadi kita lihat contohnya fa’ilnya itu ana selalu kasih harokat dhommah sedangkan maf'ul bih ana kasih harokat fathah.


Ini kaidah yang mengatur bahwasanya memang nanti yang namanya fa’il/ pelaku itu harus rofa' dan rofa' tanda asalnya adalah dhommah. Adapun objek atau maf'ul bih ia wajib dalam keadaan nashob dan tanda asal nashob adalah fathah.


Ini contoh -contoh kaidah yang berlaku untuk jumlah ismiyyah dan jumlah fi'liyyah yang insya Allah Ta'ala kita akan bahas pada pelajaran yang selanjutnya. Baik, ana rasa cukup untuk pengantar dari pembahasan tentang kalimat ini. sebelum ana tutup, ana ulangi sekali lagi untuk kesimpulannya bahwa “kata” dalam bahasa Arab disebut kalimah.
Adapun “kalimat” sendiri bahasa Arabnya disebut dengan jumlah atau kalaam.


Kalimat dalam bahasa Arab ada dua:
1. Jumlah Ismiyyah: kalimat yang diawali dengan isim atau kalimat yang tersusun isim dan isim atau isim dan fi’il.
2. Jumlah fi'liyyah: kalimat yang diawali dengan fi’il,  rumusnya fi’il dan isim.


Jumlah fi'liyyah sendiri karena fi’il terbagi menjadi lazim dan muta'addy maka ada dua. Bila fi’il lazim maka cukup kita menyebutkan fi’il dan fa’ilnya. Kata kerja dan pelakunya.


Adapun fi’il muta'addy karena dia butuh objek maka kita perlu menyebut fi’ilnya kemudian fa’ilnya/pelakunya, dan terakhir objeknya (maf'ul bih). Ini adalah kaidah dasarnya meskipun nanti kalau kita pelajari lebih lanjut lagi terkadang posisi-posisi ini dibolak-balik, kadang maf'ul bih boleh di depan karena ia lebih didahulukan daripada fa’il, kadang fi’il lebih diakhirkan dari pada fa’il dan sebagainya.


Insya Allah dalam program BISA ini kita akan membahas seluruh variasi kalimat tersebut tapi tentu dengan cara yang berurutan dan pelan-pelan. Baik, ana rasa cukup untuk pelajaran  kali ini.

وَ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنِا مُحَمَّدٍ, وَ عَلَى آلِهِ وِ صَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَشْهَدُ عَنْ لَا إِلَهَ إِلاَ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ

=========================================================

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Isim Jamid

Model Indonesia yang Berani Foto Seksi

Hukum dan Adab Istinja